Jumat, 07 Oktober 2011

FOTO SLIDE REUNI MAN'83 IPA

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Teman-teman yang dirahmati Allah, foto-foto kita kini kami sajikan dalam bentuk slide, silahkan untuk dicoba dan dimiliki, jangan lupa kasih tahu teman-teman yang lain......semoga silaturrahim kita semakin erat dan membawa keberkahan.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Abu Dina,

Senin, 03 Oktober 2011

KRISIS KREATIVITAS

KRISIS KREATIVITAS
Eileen Rachman & Sylvina Savitri

EXPERD          

PERSONAL BRANDING training

Dimuat di KOMPAS, 22 Januari 2011
Keadaan ekonomi yang masih terpuruk, tingkat pengangguran yang masih tinggi, keamanan dan tingkat kejahatan yang tetap marak di sekitar kita, tentu saja kerap membuat kita frustrasi. Mengapa kita begitu sulit keluar dari situasi ini? Masalah yang kita hadapi memang tidak sederhana. Namun, sangat disayangkan melihat kebanyakan kita bersikap helpless, hanya bengong, protes, dan menggantungkan harapan akan datangnya sebuah inspirasi cerdas dari orang pintar dan para pemimpin. Padahal, kita sadar bahwa kreativitas datang dari individu yang menghadapi masalah, menderita karenanya dan pada akhirnya ingin menciptakan hidup yang lebih baik, sehingga berkreasi. Banyaknya masalah seharusnya bisa mendorong banyak ide dan solusi kreatif yang membuat hidup jadi lebih baik. Bukankah sebagaian besar dari kita yang sudah mengenyam pendidikan di bangku sekolah sebenarnya mempunyai potensi besar untuk berpikir dan melakukan problem solving?
Masihkah kita punya pandangan bahwa kreativitas adalah semata area anak muda, pencipta lagu, artis, divisi riset ataupun para penemu teknologi baru? Kita seolah-olah bersikap sebagai “pelanggan” yang menunggu diciptakannya produk dan solusi baru oleh orang lain. Semangat kita bukan mencipta, tapi hanya mengkonsumsi. Kalau kita sekedar konsumen, siapa yang membuat terobosan? Kalau kita sekedar rakyat siapa yang menjadi pemimpin? Maukah kita terseret arus menjadikan diri konsumen besar daripada menjadi ‘kreator’? Tanpa kita sadari bahaya ‘status quo” ini kita ciptakan sendiri. Kreativitas tidak selalu berarti terobosan besar, namun mencakup kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. Misalnya: bagaimana menembus pasar yang besar dengan salesman yang terbatas? Bagaimana menghadapi kemacetan tanpa stres? Bagaimana hidup nyaman dengan income pas-pasan? Bagaimana mengelola dokumen yang menumpuk sehingga mudah ditemukan? Dan, bagaimana mencapai sasaran hidup dengan efektif efisien tanpa melakukan korupsi atau tindakan yang tidak etis.
Kreativitas bukan Tempelan
Ketika akan meniti suatu jembatan kecil untuk menaiki sampan, saya ragu-ragu karena titian jembatan yang sungguh kecil. Dalam keragu-raguan ini, datanglah dua anak kecil dengan batang bambu yang panjang, dan langsung menjunjung tinggi bambu tersebut sehingga bisa difungsikan sebagai pegangan sepanjang jembatan. Bukankah ini kreativitas yang sangat sederhana? Kita lihat bahwa dalam jiwa anak-anak yang polos ini tersedia ruang dan keyakinan bahwa solusi selalu tersedia. Namun, mengapa di masyarakat modern dengan kecanggihan teknologi mutakhir begini, justru kita tidak memelihara kualitas dan keyakinan “can do” yang demikian? Ide pasti muncul dalam pikiran kita dan kita pulalah yang berusaha mengeremnya. Kita akan membiarkan ide mengalir hanya bila kita meyakini bahwa ide yang muncul itu bermanfaat.
Ide bisa muncul kapan saja dan dimana saja. Ide bisa datang saat kita berenang, di kamar mandi ataupun pada saat sibuk-sibuknya menghadapi klien. Individu yang berkawan dengan ide akan menghargai ide-idenya, membuat catatan seria mengujicobakan idenya sebagai penyelesaian masalah. Agar ide terus mengalir, kita juga perlu mengkontrol ‘inner critic’ kita agar tidak menghambat keluarnya kreativitas. Takut salah, takut risiko, tidak mau kecewa dan ragu untuk mencoba sering membawa kita kembali ke posisi nol, tidak berubah. Sebaliknya, semakin kita berpikir kita kreatif, semakin kreatiflah kita.. Semakin ide sering mengalir, semakin tidak perlu kita untuk ‘ngotot’ dan berpikir keras. Ini sama saja dengan hukum fisika, di mana memulai suatu gerakan lebih sulit daripada bila gerakan tersebut sudah berjalan.
Seorang teman dengan bangga mengatakan: “saya senang ide baru”. Meskipun penuh ide baru, namun sayangnya ia seringkali tidak menuntaskannya sampai bermanfaat untuk memperbaiki cara kerja. Ide yang masih mentah ini pun akhirnya tidak sampai bisa menghasilkan keuntungan lebih. Ide saja tanpa dibarengi follow up berupa pencarian fakta dan riset mendalam juga tidak berguna. Ide akan bertahan sebagai wacana saja. Kegiatan otak maupun kinerja individu perlu  merupakan ‘switching’ dari berpikir melebar, kemudian eksak, lalu setelah itu melebar lagi. Inilah yang harus menjadi habit setiap orang. Kreativitas bukanlah fungsi istimewa dari otak, melainkan pembiasaan kerja otak sehari hari. Hal yang penting adalah menjaga ‘mood’ yang aktif , senantiasa berpikir mengolah informasi, bermotivasi terbuka dan happy.
Kreativitas sebagai Prioritas
Kalau kita setuju bahwa kreativitas terancam, apakah kita akan membiarkan menyerahkan pekerjaan sulit hanya pada ‘yang berwenang’, atau  ‘ahlinya’? Perusahaan seperti Xerox, Pixar, Google, Apple bukanlah perusahaan di mana sekelompok orang pandai menjadi ‘otak’ perusahaan. Seluruh karyawan sangat paham bahwa berpikir kreatif adalah detak jantung perusahaan, semua orang mengkonsumsi informasi sebagai gizi vital perusahaan dan berusaha mengkombinasi, mengintegrasi dan mengkaitkan ide menjadi ide baru yang akan membuat perusahaan lebih maju lagi. Kreativitas dianggap sebagai aktivitas yang revolusioner, sehingga setiap orang berpikir ke depan, sibuk memanfaatkan riset data dan pendapat orang pintar lainnya.
Kreativitas sama sekali bukan berpikir ‘nyeleneh’ atau original saja. Kreativitas adalah keyakinan dan kemauan untuk terus menerus untuk mendapatkan solusi agar hidup kita jadi lebih baik. Dengan optimisme bahwa kita bisa menjadi bangsa yang kreatif, kita bisa memupuk rasa ingin tahu, sikap positif bahkan tertantang dalam melihat masalah. Sudah waktunya setiap individu, tim, organisasi bahkan negara mendorong kreativitas sebagai prioritas utama. Bukan sekedar produksi atau karya cipta artis saja tetapi dihasilkan di setiap rumah tangga.
EXPERD CONSULTANT
Adding value to business results
Plaza Pondok Indah 3 Blok C/2
Jl. Tb. Simatupang
Jakarta 12310
Telp. 021-7590 6448
Fax.  021-7590 6442

http://www.experd.com

Inteligensi Kolektif

Inteligensi Kolektif

Eileen Rachman & Sylvina Savitri

EXPERD        

EMPLOYEE ENGAGEMENT SURVEY


Dimuat di KOMPAS, 21 Mei 2011
Seorang teman yang bertanggung jawab menangani divisi sumber daya manusia di sebuah universitas, mengeluhkan betapa para ilmuwan, dosen, bahkan profesor sangat sulit bekerja sama. Teman lain, yang bekerja di rumah sakit, ternyata mempunyai keluhan yang sama. Di satu sisi organisasi berjuang keras untuk mendapatkan individu terbaik dan terpintar, namun di sisi lain saat orang-orang pintar ini berkumpul, proses diskusi malah menjadi lebih alot dan bahkan bisa tidak menghasilkan apa-apa. Bukankah kita memang sering merasakan bahwa kerja tim malahan bisa jadi tidak lancar bila beranggotakan orang-orang pintar? Dalam kesebelasan sepak bola, kumpulan para bintang bisa tidak membentuk tim yang hebat. Tim “elit” top manajemen perusahaan yang berisi orang-orang pintar pun seringkali punya masalah untuk bersinergi. Bukankah tim Obama juga disebut sebagai too many brains team, namun kerap dikritik karena lamban dalam mengambil keputusan? Bagaimana kita menyikapi dan menyiasati hal ini?
Usaha untuk memperkuat koordinasi, menebalkan kohesi serta sinergi terus menerus kita dengar dan bicarakan. Berbagai program pelatihan, camp dan outbound dilakukan agar individu lebih bersatu dan saling memahami satu sama lain. Namun, tetap banyak yang mengeluhkan betapa sinergi tetap saja seolah tertahan dan tidak terjadi. Tidak jarang terjadi, dalam sesi-sesi ‘brainstorming’ yang dilakukan orang-orang pintar, ide-ide yang muncul seringkali terasa tertahan dan bahkan ‘basi’. Kinerja kolektif yang di atas kertas   semestinya lebih baik dari rata-rata kehebatan masing-masing individu, malahan berkinerja di bawah rata-rata. Sebaliknya, ada kelompok yang anggotanya biasa-biasa saja, namun ketika membentuk tim malah bisa menghasilkan prestasi luar biasa yang bahkan membuat “surprise” anggotanya sendiri. Apa rahasianya sehingga sebuah tim, apalagi tim yang terdiri dari para bintang, bisa menunjukkan kinerja kinclong dan smart? Bagaimana menumbuhkan kekuatan “collective intelligence” yang disebut-sebut bisa melipatgandakan prestasi dan menjadi faktor kunci dari keberhasilan suatu tim dan organisasi?
Kolaborasi dan Peduli
Dalam sebuah penelitian ditemukan bahwa kinerja sebuah kelompok dalam membuat tugas semacam puzzle, brainstorming, dan negosiasi, lebih baik daripada hasil kerja masing-masing individunya. Ketika diteliti lebih jauh, ternyata “kekuatan” yang dihasilkan oleh kelompok, tidak banyak kaitannya dengan kohesi, kedekatan interpersonal, motivasi maupun kepuasan individu, namun lebih dipengaruhi faktor “care” atau kepedulian. Setiap individu peduli tidak hanya pada keberhasilan tugas dan peran pribadinya, namun ingin rekannya juga berhasil. Bila kegiatan team-building dan outbound yang dilakukan baru semata mempererat kohesi, merekatkan hubungan interpersonal kelompok, namun belum menyentuh suasana hati dan “ego” dari masing-masing individu, kita tidak bisa berharap banyak bahwa kegiatan itu akan betul-betul bisa membawa dampak positif sekembalinya mereka ke tempat kerja.
Orang-orang yang cerdas dan berprestasi kita lihat mempunyai kemauan yang keras. Selain itu, individunya juga sangat percaya pada prinsip dan pendapatnya sendiri. Ini adalah kekuatan, namun sekaligus berpotensi menjadi sumber perpecahan dalam kelompok. Hanya bila individu menyadari kekuatan dan peran dirinya, sambil melihat kekuatan dan peran orang lain, kemudian terbuka mata dan pikirannya untuk berkolaborasi mencapai tujuan bersama, barulah bisa timbul percikan sinergi. Kuncinya adalah kesadaran bahwa “no team member can be successful without ensuring the success of everyone else. Jadi tugas kita adalah membuat orang lain bisa melakukan perannya dengan baik dan membuat orang lain terlihat baik, bukan malah menjatuhkannya. Ini tentu keyakinan yang perlu dibangun dengan fokus pada tujuan bersama dan keberhasilan bersama.
Terobos Dinding ‘Ego’
Dalam suatu perusahaan, individu-individu yang berkinerja bagus dipromosikan menjadi direksi. Di luar dugaan, tim yang tadinya solid ini malahan tiba-tiba tidak menghasilkan kinerja yang cemerlang lagi. Walaupun tidak berkonflik terbuka, terasa hubungan menjadi dingin dan setiap individu terkesan tetap bersikeras dengan gaya dan keahlian masing-masing. Suasana terasa hambar, bahkan enggan berkomunikasi satu sama lain. Ketika tim menemui jalan buntu dan akhirnya masing-masing berkesempatan membuka hati, barulah hubungan mencair dan komunikasi menjadi lebih tulus untuk bersatu dan menolong satu sama lain. Ternyata, individu yang berprestasi pun perlu juga digelitik kepekaan sosialnya, sehingga kembali bisa melihat lebih obyektif dan lebih mampu mendengar lebih aktif.
Teman saya berkomentar, “Orang-orang pintar, biasanya egonya juga sama-sama kuat.” Benarkah ini? Kita memang kerap melihat bahwa kerasnya ego individu bahkan mewarnai berbagai konflik skala “nasional” yang disorot media, entah itu kisruh PSSI, perseteruan anggota dewan yang terhormat atau juga di jajaran kabinet. Bisa jadi, karena “ego” pribadi masih mendominasi, collective intelligence jadi sulit terwujud. Dari sinilah kita bisa melihat bahwa individu yang inteligen belum tentu bisa membangun inteligensi kolektif. Individu yang mampu menumbuhkan inteligensi kolektif biasanya menjaga kepekaannya, banyak memperhatikan kebutuhan orang lain, berusaha tidak mendominasi pembicaraan walaupun sebenarnya ahli dalam topik pembicaraannya, sambil benar-benar mendekatkan’hati’nya dengan tim.
Dengan individu-individu yang berprestasi, dialog satu sama lain sangat penting, baik itu formal dan informal. Perlu ada keterbukaan yang ‘genuine”. Kita bisa membicarakan tugas atau proyek tertentu, tetapi spirit untuk menjaga kebersamaan perlu berakar di dasar kepribadian individu. Kita tidak bisa lagi memandang aspek emosional sebagai aspek penghambat prestasi. Justru pada orang yang sudah berprestasi, aspek emosilah yang mempengaruhi mental dan spiritnya. Itulah sebabnya pemimpin dari kelompok berprestasi ini selalu menggunakan pendekatan kembar, yaitu tugas dan hubungan interpersonal. Hanya melalui pendekatan yang ‘dalam’ inilah ‘trust’ bisa dikembangkan, berdampingan dengan ‘good-will’ organisasi.

Kuasai Kecerdasan Emosi

Kuasai Kecerdasan Emosi Anda!

Ditulis oleh: Anne Ahira

"Siapapun bisa marah. Marah itu mudah.
Tetapi, marah pada orang yang tepat,
dengan kadar yang sesuai, pada waktu
yang tepat, demi tujuan yang benar, dan
dengan cara yg baik, bukanlah hal mudah."

-- Aristoteles, The Nicomachean Ethics.

Mampu menguasai emosi, seringkali orang
menganggap remeh pada masalah ini.
Padahal, kecerdasan otak saja tidak
cukup menghantarkan seseorang mencapai
kesuksesan.

Justru, pengendalian emosi yang baik
menjadi faktor penting penentu
kesuksesan hidup seseorang.

Kecerdasan emosi adalah sebuah gambaran
mental dari seseorang yang cerdas dalam
menganalisa, merencanakan dan
menyelesaikan masalah, mulai dari yang
ringan hingga kompleks.

Dengan kecerdasan ini, seseorang bisa
memahami, mengenal, dan memilih
kualitas mereka sebagai insan manusia.
Orang yang memiliki kecerdasan emosi
bisa memahami orang lain dengan baik
dan membuat keputusan dengan bijak.

Lebih dari itu, kecerdasan ini terkait
erat dengan bagaimana seseorang dapat
mengaplikasikan apa yang ia pelajari
tentang kebahagiaan, mencintai dan
berinteraksi dengan sesamanya.

Ia pun tahu tujuan hidupnya, dan akan
bertanggung jawab dalam segala hal yang
terjadi dalam hidupnya sebagai bukti
tingginya kecerdasan emosi yang
dimilikinya.

Kecerdasan emosi lebih terfokus pada
pencapaian kesuksesan hidup yang
*tidak tampak*.

Kesuksesan bisa tercapai ketika
seseorang bisa membuat kesepakatan
dengan melibatkan emosi, perasaan dan
interaksi dengan sesamanya.

Terbukti, pencapaian kesuksesan secara
materi tidak menjamin kepuasan hati
seseorang.

Di tahun 1990, Kecerdasan Emosi (yang
juga dikenal dengan sebutan "EQ"),
dikenalkan melalui pasar dunia.

Dinyatakan bahwa kemampuan seseorang
untuk mengatasi dan menggunakan emosi
secara tepat dalam setiap bentuk
interaksi lebih dibutuhkan daripada
kecerdasan otak (IQ) seseorang.

Sekarang, mari kita lihat, bagaimana
emosi bisa mengubah segala keterbatasan
menjadi hal yang luar biasa....

Seorang miliuner kaya di Amerika
Serikat, Donald Trump, adalah contoh
apik dalam hal ini. Di tahun 1980
hingga 1990, Trump dikenal sebagai
pengusaha real estate yang cukup
sukses, dengan kekayaan pribadi yang
diperkirakan sebesar satu miliar US
dollar.

Dua buku berhasil ditulis pada puncak
karirnya, yaitu "The Art of The Deal
dan Surviving at the Top"
. Namun jalan
yang dilalui Trump tidak selalu
mulus...

Um ingat depresi yang melanda dunia
di akhir tahun 1990? Pada saat itu
harga saham properti pun ikut anjlok
dengan drastis. Hingga dalam waktu
semalam, kehidupan Trump menjadi sangat
berkebalikan.

Trump yang sangat tergantung pada
bisnis propertinya ini harus menanggung
hutang sebesar 900 juta US Dollar!
Bahkan Bank Dunia sudah memprediksi
kebangkrutannya.

Beberapa temannya yang mengalami nasib
serupa berpikir bahwa inilah akhir
kehidupan mereka, hingga benar-benar
mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh
diri.

Di sini kecerdasan emosi Trump
benar-benar diuji. Bagaimana tidak,
ketika ia mengharap simpati dari mantan
istrinya, ia justru diminta memberikan
semua harta yang tersisa sebagai ganti
rugi perceraian mereka.

Orang-orang yang dianggap sebagai teman
dekatnya pun pergi meninggalkannya
begitu saja. Alasan yang sangat
mendukung bagi Trump untuk putus asa
dan menyerah pada hidup. Namun itu
tidak dilakukannya.

Trump justru memandang bahwa ini
kesempatan untuk bekerja dan mengubah
keadaan. Meski secara finansial ia
telah kehilangan segalanya, namun ada
"intangible asset" yang tetap
dimilikinya.

Ya, Trump memiliki pengalaman dan
pemahaman
bisnis yang kuat, yang jauh
lebih berharga dari semua hartanya yang
pernah ada!

Apa yang terjadi selanjutnya?

Fantastis, enam bulan kemudian Trump
sudah berhasil membuat kesepakatan
terbesar dalam sejarah bisnisnya.

Tiga tahun berikutnya, Trump mampu
mendapat keuntungan sebesar US$3
Milliar. Ia pun berhasil menulis
kembali buku terbarunya yang diberi
judul "The Art of The Comeback".

Dalam bukunya ini Trump bercerita
bagaimana kebangkrutan yang menimpanya
justru menjadikannya lebih bijaksana,
kuat dan fokus daripada sebelumnya.

Bahkan ia berpikir, jika saja musibah
itu tidak terjadi, maka ia tidak akan
pernah tahu teman sejatinya dan tidak
akan menjadikannya lebih kaya dari yang
sebelumnya. Luar biasa bukan? :-)

Kecerdasan Emosi memberikan seseorang
keteguhan untuk bangkit dari kegagalan,
juga mendatangkan kekuatan pada
seseorang untuk berani menghadapi
ketakutan.

Tidak sama halnya seperti kecerdasan
otak atau IQ, kecerdasan emosi hadir
pada setiap org & bisa dikembangkan.

Berikut beberapa tips bagaimana cara
mengasah kecerdasan emosi:

1. Selalu hidup dengan keberanian.

    Latihan dan berani mencoba hal-hal baru
    akan memberikan beragam pengalaman dan
    membuka pikiran dengan berbagai
    kemungkinan lain dalam hidup.

2. Selalu bertanggung jawab dalam
    segala hal.


    Ini akan menjadi jalan untuk bisa
    mendapatkan kepercayaan orang lain dan
    mengendalikan kita untuk tidak mudah
    menyerah. "being accountable is being
    dependable"


3. Berani keluar dari zona nyaman.

    Mencoba keluar dari zona nyaman akan
    membuat kita bisa mengeksplorasi banyak
    hal.

4. Mengenali rasa takut dan mencoba
    untuk menghadapinya.


    Melakukan hal ini akan membangun rasa
    percaya diri dan dapat menjadi jaminan
    bahwa segala sesuatu pasti ada
    solusinya.

5. Bersikap rendah hati.

    Mau mengakui kesalahan dalam hidup
    justru dapat meningkatkan harga diri
    kita.